Indonesia merupakan negara urutan ke-5 terkaya air di dunia (Water Resources Institute Washington, 1991), namun penyusutan luas daerah resapan air akibat pengembangan permukiman, perindustrian, serta pemekaran wilayah administrasi,penyusutan luas perairan danau, rawa, sungai, dan telaga akibat pendangkalan, gulma, alih fungsi kawasan lindung serta buangan bahan tambangmembuat ketersediaan air per kapita makin menipis, kualitas air pada sumber air kian merosot, terjadinya peningkatan ketegangan antara perkotaan vs pedesaan, hulu vs hilir, antar wilayah administrasi, dan keberlanjutan beban pengelolaan sumber daya air yang dialami generasi yang akan datang kian berat.
Kemerosotan sumber daya air ini juga diikuti dengan rusaknya ekosistem di sekitar sumber air maupun di sepanjang aliran air atau sungai. Hal ini terbukti dengan tingkat erosivitas yang tinggi pada tepi sungai, bahkan menimbulkan dampak yang lebih besar yakni bencana banjir dan tanah longsor.
Tolok ukur keberhasilan konservasi tanah di suatu Daerah Aliran Sungai (DAS), sub DAS dan sub-sub DAS adalah besarnya tanah yang hilang, dengan satuan ton per hektar per tahun. Namun demikian tolok ukur ini harus diperkuat dengan dampak on-site dan off-site yang lain. Dampak off-site sering jauh lebih serius, seperti pendangkalan waduk, rendahnya kualitas air, rusaknya ekosistem perairan, ancaman banjir dan kekeringan.
Kabupaten Mamasa merupakanbagiandariDAS Saddang yang termasukdalam DAS Prioritas I di Indonesia dengan kondisi DAS yang kritis. Pada tahun 2011 dan 2012 terjadi banjirdanbencana tanah longsor pada wilayah DAS Saddang sebagai akibat dari kurangnya vegetasi yang bisa membantu menurunkan erosi tanah terjadinya perambahan kawasan hutan dan bertambahnya pemukiman penduduk pada kawasan pinggiran sungai sehingga mempersempit daerah aliran sungai.
Upaya Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) merupakan salah satu langkah prioritas Departemen Kehutanan guna mempertahankan, memperbaiki bahkan menambah luas kawasan berhutan dan konservasi air yang telah mengalami degradasi baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Salah satu upaya RHL adalah Rehabilitasi sumber mata air yang diharapkan dapat berfungsi sebagai daerah penyangga bagi daratan di sekitarnya, sebagai penahan tanah agar tidak mudah terjadi erosi atau longsor akibat erosi permukaan maupun erosi tepi sungai.
BPDAS Saddang selaku Unit pelaksana teknis dari Kementerian Kehutanan melalui DIPA Bagian Anggaran 29 Tahun 2013 menganggarkan rehabilitasi sumber mata air seluas 12,5 ha yang diharapkan menjadi areal show window, media penyuluhan dan juga sebagai upaya rehabilitasi hutan dan lahan.
Dalam rangka mengevaluasikeberhasilan pelaksanaan pembuatan areal modelrehabilitasi sumber mata air di Kabupaten Mamasa , maka perlu disusun laporanakhirpelaksanaanpembuatan areal modelrehabilitasi sumber mata air tahun 2013.
Desa Rantekamase, kecamatan Sumarrong kabupaten Mamasa, berada di luar kawasan penggunaan hutan, yang berada pada titik geografis 030 7’ 42,1’’ LS dan 119019’ 25,2’’ BT ( Sungai Mamasa). Luas sungai Mamasa ini sekitar 12.5 ha. Di desa inilah lokasi pembuatan rehabilitasi sumber mata air. dalam rangka tersebut telah dilakukan beberapa kegiatan pertama, pembersihan lahan dengan sistem jalur
Jalan pemeriksaan dibuat selebar 150 cm, dan diharapkan dapat dilalui dengan mudah untuk melakukan pemeriksaan kegiatan mulai dari kegiatan penanaman sampai pada pemeliharaan. Kegiatan awal yang dilakukan sebelum pembersihan areal adalah menentukan arah larikan. Penentuan arah larikan berdasarkan kondisi lahan seperti topografi atau garis kontur yang ada. Selain itu penetapan arah larikan juga disesuaikan dengan pola dan jarak tanam yang diterapkan. Berdasarkan hal tersebut diatas maka dilakukan penentuan arah larikan.
Pembersihan areal pembuatan tanaman rehabilitasi sumber mata air pada lokasi Sungai Parombean Desa Rantekamase Kecamatan Sumarorong Kabupaten Mamasa, dilakukan dengan sistem jalur. Persiapan lapangan dan pembuatan jalan pemeriksaan dilakukan pada tanggal 6 sampai dengan 8 Juli 2013, dengan volume fisik sebanyak 60 HOK dan biaya sebesar Rp. 2.700.000,- Pembersihan areal dilakukan pada jalur-jalur yang ditanami sesuai dengan garis kontur lapangan. Pembersihan dilakukan pada jalur dengan ukuran lebar minimal 50 cm
Kegiatan kedua yang dilakukan adalah pemancangan patok dan ajir, Ajir terbuat dari bambu/aur yang dibelah-belah, dengan tebal ± 1 cm dan lebar 2 cm dan dibelah. Ukuran tinggi ajir adalah 150 cm dan pemasangannya di lapangan dilakukan dengan cara menanaman bagian pangkal sampai sedalam 25 cm. Pemancangan ajir dilaksanakan pada tanggal 12 sampai dengan 13 Juli 2013, dengan jumlah kegiatan fisik sebanyak 30 HOK dan biaya sebesar Rp. 1.350.000,-
Lubang tanam dibuat dengan ukuran (30 x 30 x 30) cm. Pada sekitar lubang tanam dibuat piringan. Piringan adalah areal sekitar lobang tanaman (diameter 1 m) yang dicangkul dan dibersihkan dari tanaman pengganggu dan rumput-rumputan/alang-alang. Kegiatan pembuatan piringan dan lobang tanam dilaksanakan pada tanggal 14 sampa idengan 16 Juli 2013 dengan jumlah kegiatan fisik dilapangan sebanyak 130 HOK dan biaya sebesar Rp.5.850.000,-.
Untuk mendukung kegiatan-kegiatan budidaya tanaman maka perlu dibangun Pondok Kerja. Jumlah Pondok Kerja yang dibutuhkan adalah sebanyak 1 unit, yang ditempatkan pada lokasi yang memiliki aksesibitas baik terhadap seluruh areal penanaman. Pondok kerja ini dilengkapi dengan beranda ukuran 1,5 x 4,0 meter untuk tempat bekerja sekaligus berdiskusi.
Pondok kerja yang dibangun pada lokasi kegiatan berukuran 4 x 6 m. Pondok kerja ini dibangun dengan tiang balok kayu, dinding papan, atap seng dan lantai papan. Pembangunan pondok kerja dirancang sesuai dengan kondisi budaya setempat. Pembuatan pondok kerja dan papan nama dilaksanakan pada tanggal 1 Juli 2013 dengan kegiatan fisik sebanyak 8 HOK dan biaya sebesar Rp. 360.000,-
Kegiatan berikutnya akan dibahas pada postingan berikutnya